BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Jumat, 30 Desember 2011

ego yang membabi buta membuat jarak antara kita...

Dari balik tirai jendela nampak sang Fajar bersinar terang pagi ini. Hmmm indah nian terasa pagi ini, karna di pagi-pagi sebelumnya selalu diguyur hujan. Kuputuskan tuk rehat sejenak dari berbagai tuntutan hidup, yang terkadang mengekang kebebasan ku. Menghabiskan waktu bersama deburan ombak dan sentuhan air laut, itulah pilihan ku hari ini. Pergi seorang diri?! Yaa.. ku selalu pergi sendiri, karna inilah yang ku rasa dengan kebebasan... sendiri menikmati belaian angin pantai itu lebih baik bagi ku.
Merebahkan diri pada kaki pohon membuat ku semakin menikmati kebebasan ini, meski riuh terdengar di sekitar ku,, tapi aku tetap merasakan keheningan, keheningan yang membuat ku merasa bahwa kau ada,, ada tepat disamping ku. Dalam mimpi ku terasa benar kau tersenyum pada ku. Ahhh.. semua membuat ku semakin rindu,,, rindu bercengkrama dengan mu. Karna sejak hari itu, kita tak saling bertemu bahkan komunikasi kita pun terputus dan tak ada kabar sama sekali.  Tak sabar ku menunggu kelulusan study ku, karna rindu ini sudah menyeret ku tuk cepat bertemu dengan mu.
###
Kampung halaman kini terasa berbeda, setiap sudut nya nyaris tak dapat ku kenali. Ternyata cukup lama ku meninggalkan desa yang tercinta ini.
Bercengkrama di beranda rumah bersama keluarga tercinta membuat ku merasa kembali pada masa kecil ku,, tiba-tiba fikiran ku tertuju pada satu wajah,, yaaa itu wajah mu kawan... dengan penuh ambisi ku bertanya..
“wima masih di rumahnya yang dulu kan bu?!”
Ibu hanya tertunduk, tanpa sepatah kata keluar tuk menjawabnya.. ingin ku bertanya pada ayah, tapi ku rasa ayah kan bersikap yang sama, karna hubungan pertemanan ku dengan wima  mendapat pertentangan keras dari ayah. Aku pun hanya tertunduk lesu dengan sedikit rasa kecewa.
“wima sudah pindah kak” suara halus melintas di indra dengar ku, sontak ku terperangah dan mengangkat wajah.
“kemana dan mengapa wima pergi?!” tanya ku dengan nada khawatir dan berbaur dengan sedikit kekecewaan. Tega sekali kau tak memberi ku kabar dan tak setia menunggu ku pulang dari study ku,, bukan kah kau berjanji tuk tetap menunggu ku?! Gerutu ku dalam hati.
“ Entah lah kak, dia pun pergi tanpa pamit dengan ku” jawab dila dengan mata yang berkaca-kaca.
Aku pun berjalan menuju kamar dan mengambil foto yang tertata rapi di atas meja kamar,, foto yang hampir buram memang, tapi tetap indah di mata ku. Tapi kini, semakin  buram bahkan menjadi kusam, sejak ku tau kau pergi di saat pengharapan ku sampai pada klimaksnya.
Pagi ini ku niatkan tuk pergi ke rumah mu, ku lihat sepi dan tak berpenghuni. Sepertinya sudah lama rumah itu kosong. Biarlah,, aku tetap berjalan menuju rumah itu, ku duduk pada sebuah kursi reot yang hampir lapuk, sembari memutar kembali memori kenangan kita di masa itu.
Tiba-tiba,, mata ku tertuju pada sebuah pohon besar yang kini masih tetap setia berdiri tegak disana, di tempat itu lah sering kami bermain melukis senyuman diantara dedaunan yang berjatuhan, di tempat itu pula isakan tangis jelas terdengar.
Saat itu, kami menikmati indah belaian angin, sembari mempelajari matematika yang akan di ujikan besok hari, tapi di luar dugaan,, ayah datang dan menarik pergelangan tangan ku dengan kasar, aku sempat mencoba berontak, tapi fostur tubuh ayah yang gemuk dan besar membuat ku terpaksa mengalah dan mengikuti langkahnya. Tiba di rumah ayah meminta ku tuk tidak berteman lagi dengan wima, hanya karna sebuah alasan yang menurut ku sangat tidak manusiawi. Ayah memisahkan ku dengan teman kecil ku,, kami bersama sejak kami dilahirkan, karna keluarga ku dan keluarganya memang sangat dekat sebelumnya. Alasan ayah melarang ku hanya karna perbedaan sudut pandang antara keluarga ku dan keluarganya,, entah lah.. sebelumnya ayah tak pernah mempermasalahkannya.
“kamu tau wima itu menganut aliran sesat” teriak ayah pada ku.
Dengan mata terbelalak aku memandang ayah,, “maksud ayah??! Bukan kah sejak dulu ayah tau mereka berada pendapat dengan kita, tapi ayah tak pernah mempermasalahkannya bahkan tak pernah ayah memvonis bahwa mereka menganut aliran sesat,tetapi kita hanya berbeda ormas, sebuah organisasi masyarakat yang memang ada sejak dulu, dan keduanya memang berbeda, tapi ayah mengatakan bahwa kita sama, yaitu ISLAM” jawab ku dengan sedikit ketus.
 “yaaa.. dulu kita memang sama ISLAM, tapi kini kita berbeda” jawab ayah dengan nada sedikit geram.
Entah lah, apa yang dilakukan mereka hingga membuat ayah seperti ini. Memang, ayah adalah salah seorang tokoh besar dalam organisasi kami, bahkan beliau sangat fanatik. Tapi tak pernah semarah ini. Sejak kejadian inilah aku terpisah dengan wima dan aku dimasukkan pada ponpes yang berada jauh di pulau sebrang. Dengan tujuan, agar aku tidak ikut dalam ormas yang selama ini di ikuti oleh wima.
***
Kaki kecil ku berjalan menyusuri tepian pantai, hingga akhirnya ku dengar suara lembut memanggil ku..
“Dikaaa....”
Aku pun berbalik arah dan balik menayapa. “hai ran..”
“sudah lama kembali?!” tanyanya dengan pada ku.
“yaa,, beberapa hari yang lalu” jawabku dengan senyuman kecil.
Dari pertemuan ku dengan Rani membuat banyak cerita kembali terputar, lembar kenangan pun kembali terbuka. Banyak cerita baru yang ku dapat sejak kepergian ku mengais ilmu jauh di sana. Satu cerita yang ku tunggu, yaitu cerita kepergian wima yang telah meninggalkan desa kami, Rani pun tertunduk lesu dengan mata yang hampir menumpahkan butiran suci. Aku pun bingung dan semakin bertanya dengan sikap Rani. Sedikit demi sedikit Rani mulai menceritakan kepergian wima,, betapa terkejutnya aku, DIA pergi bukan atas keinginannya sendiri, bahkan tanpa diluar kuasanya. TRAGIS... itu yang hanya bisa ku gumamkan. Air mata ku pun jatuh tak tertahan, lemah rasanya kaki ini hingga tak mampu membuat ku tuk tegak berdiri. Detak jantung ku serasa berhenti.
wima... ingin rasanya ku berteriak tuk dapat membuat mu kembali. Wima di bunuh oleh orang yang menjadi pahlawan dalam hidup q ku, yaitu ayah.. tega benar kau membunuh wima yang selama ini telah kau anggap sebagai anak mu sendiri. Ingin rasanya ku genggam batu hingga remuk tuk meredam amarah ku.
“tenang dik,, semua bukan salah ayah mu, dia terhasut oleh orang-orang tidak bertanggung jawab yang menjelekkan organisasi yang diikuti oleh wima, saat itu wima lah yang menjadi tonggak keberhasilan organisasinya, lalu wima terfitnah, hingga akhirnya kejadian itu terjadi dan wima terbunuh. Atas kejadian tersebut lah akhirnya keluarga wima memutuskan tuk pergi meninggalkan desa ini”
Aq terhenyak, serasa tersayat oleh pedang tajam. Begitu menyakitkan...
wima,, maafkan atas amarah sesaat ku atas kepergian mu, tapi aku tak meminta maaf atas kesalahan ayah, karna tak kan terobati luka mu dan keluargamu hanya dengan seucap maaf dari ku...
Sungguh,, kebencian mereka kini menjadi jarak antara kita...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers